Quran Terjemahan Kemenag RI
alif lām rā, tilka āyātul-kitābil mubīn
Alif Lām Rā`. Ini adalah ayat-ayat Kitab (Alquran) yang jelas.
innā anzalnāhu qur`ānan ‘arabiyyal la’allakum ta’qilụn
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Quran berbahasa Arab, agar kamu mengerti.
naḥnu naquṣṣu ‘alaika aḥsanal-qaṣaṣi bimā auḥainā ilaika hāżal-qur`āna wa ing kunta ming qablihī laminal-gāfilīn
Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling baik dengan mewahyukan Alquran ini kepadamu, dan sesungguhnya engkau sebelum itu termasuk orang yang tidak mengetahui.
iż qāla yụsufu li`abīhi yā abati innī ra`aitu aḥada ‘asyara kaukabaw wasy-syamsa wal-qamara ra`aituhum lī sājidīn
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Sungguh, aku (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.”
qāla yā bunayya lā taqṣuṣ ru`yāka ‘alā ikhwatika fa yakīdụ laka kaidā, innasy-syaiṭāna lil-insāni ‘aduwwum mubīn
Dia (ayahnya) berkata, “Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia.”
wa każālika yajtabīka rabbuka wa yu’allimuka min ta`wīlil-aḥādīṡi wa yutimmu ni’matahụ ‘alaika wa ‘alā āli ya’qụba kamā atammahā ‘alā abawaika ming qablu ibrāhīma wa is-ḥāq, inna rabbaka ‘alīmun ḥakīm
Dan demikianlah, Tuhan memilih engkau (untuk menjadi Nabi) dan mengajarkan kepadamu sebagian dari takwil mimpi dan menyempurnakan (nikmat-Nya) kepadamu dan kepada keluarga Yakub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kedua orang kakekmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sungguh, Tuhanmu Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
laqad kāna fī yụsufa wa ikhwatihī āyātul lis-sā`ilīn
Sungguh, dalam (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang bertanya.
iż qālụ layụsufu wa akhụhu aḥabbu ilā abīnā minnā wa naḥnu ‘uṣbah, inna abānā lafī ḍalālim mubīn
Ketika mereka berkata, “Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) lebih dicintai ayah daripada kita, padahal kita adalah satu golongan (yang kuat). Sungguh, ayah kita dalam kekeliruan yang nyata,
uqtulụ yụsufa awiṭraḥụhu arḍay yakhlu lakum waj-hu abīkum wa takụnụ mim ba’dihī qauman ṣāliḥīn
bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian ayah tercurah kepadamu, dan setelah itu kamu menjadi orang yang baik.”
qāla qā`ilum min-hum lā taqtulụ yụsufa wa alqụhu fī gayābatil-jubbi yaltaqiṭ-hu ba’ḍus-sayyārati ing kuntum fā’ilīn
Seorang di antara mereka berkata, “Janganlah kamu membunuh Yusuf, tetapi jebloskan saja dia ke dasar sumur agar dia dipungut oleh sebagian musafir, jika kamu hendak berbuat.”
qālụ yā abānā mā laka lā ta`mannā ‘alā yụsufa wa innā lahụ lanāṣiḥụn
Mereka berkata, “Wahai ayah kami! Mengapa engkau tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami semua menginginkan kebaikan baginya.
arsil-hu ma’anā gaday yarta’ wa yal’ab wa innā lahụ laḥāfiẓụn
Biarkanlah dia pergi bersama kami besok pagi, agar dia bersenang-senang dan bermain-main, dan kami pasti menjaganya.”
qāla innī layaḥzununī an taż-habụ bihī wa akhāfu ay ya`kulahuż-żi`bu wa antum ‘an-hu gāfilụn
Dia (Yakub) berkata, “Sesungguhnya kepergian kamu bersama dia (Yusuf) sangat menyedihkanku dan aku khawatir dia dimakan serigala, sedang kamu lengah darinya.”
qālụ la`in akalahuż-żi`bu wa naḥnu ‘uṣbatun innā iżal lakhāsirụn
Sesungguhnya mereka berkata, “Jika dia dimakan serigala, padahal kami kelompok (yang kuat), maka tentu kami menjadi orang-orang yang merugi.”
fa lammā żahabụ bihī wa ajma’ū ay yaj’alụhu fī gayābatil-jubb, wa auḥainā ilaihi latunabbi`annahum bi`amrihim hāżā wa hum lā yasy’urụn
Maka ketika mereka membawanya dan sepakat memasukkan dia ke dasar sumur, Kami wahyukan kepadanya, “Engkau kelak pasti akan menceritakan perbuatan ini kepada mereka, sedang mereka tidak menyadari.”
wa jā`ū abāhum ‘isyā`ay yabkụn
Kemudian mereka datang kepada ayah mereka pada petang hari sambil menangis.
qālụ yā abānā innā żahabnā nastabiqu wa taraknā yụsufa ‘inda matā’inā fa akalahuż-żi`b, wa mā anta bimu`minil lanā walau kunnā ṣādiqīn
Mereka berkata, “Wahai ayah kami! Sesungguhnya kami pergi berlomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan engkau tentu tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami berkata benar.”
wa jā`ụ ‘alā qamīṣihī bidaming każib, qāla bal sawwalat lakum anfusukum amrā, fa ṣabrun jamīl, wallāhul-musta’ānu ‘alā mā taṣifụn
Dan mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) darah palsu. Dia (Yakub) berkata, “Sebenarnya hanya dirimu sendirilah yang memandang baik urusan yang buruk itu; maka hanya bersabar itulah yang terbaik (bagiku). Dan kepada Allah saja tempat memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.”
wa jā`at sayyāratun fa arsalụ wāridahum fa adlā dalwah, qāla yā busyrā hāżā gulām, wa asarrụhu biḍā’ah, wallāhu ‘alīmum bimā ya’malụn
Dan datanglah sekelompok musafir, mereka menyuruh seorang pengambil air. Lalu dia menurunkan timbanya. Dia berkata, “Oh, senangnya, ini ada seorang anak muda!” Kemudian mereka menyembunyikannya sebagai barang dagangan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
wa syarauhu biṡamanim bakhsin darāhima ma’dụdah, wa kānụ fīhi minaz-zāhidīn
Dan mereka menjualnya (Yusuf) dengan harga murah, yaitu beberapa dirham saja, sebab mereka tidak tertarik kepadanya.
wa qālallażisytarāhu mim miṣra limra`atihī akrimī maṡwāhu ‘asā ay yanfa’anā au nattakhiżahụ waladā, wa każālika makkannā liyụsufa fil-arḍi wa linu’allimahụ min ta`wīlil-aḥādīṡ, wallāhu gālibun ‘alā amrihī wa lākinna akṡaran-nāsi lā ya’lamụn
Dan orang dari Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya, “Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, mudah-mudahan dia bermanfaat bagi kita atau kita pungut dia sebagai anak.” Dan demikianlah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di negeri (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya takwil mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti.
wa lammā balaga asyuddahū ātaināhu ḥukmaw wa ‘ilmā, wa każālika najzil-muḥsinīn
Dan ketika dia telah cukup dewasa Kami berikan kepadanya kekuasaan dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
wa rāwadat-hullatī huwa fī baitihā ‘an nafsihī wa gallaqatil-abwāba wa qālat haita lak, qāla ma’āżallāhi innahụ rabbī aḥsana maṡwāy, innahụ lā yufliḥuẓ-ẓālimụn
Dan perempuan yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya menggoda dirinya. Lalu dia menutup pintu-pintu, seraya berkata, “Marilah mendekat kepadaku.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang yang zalim itu tidak akan beruntung.
wa laqad hammat bihī wa hamma bihā, lau lā ar ra`ā bur-hāna rabbih, każālika linaṣrifa ‘an-hus-sū`a wal-faḥsyā`, innahụ min ‘ibādinal-mukhlaṣīn
Dan Sungguh, perempuan itu telah berhasrat kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.
wastabaqal-bāba wa qaddat qamīṣahụ min duburiw wa alfayā sayyidahā ladal-bāb, qālat mā jazā`u man arāda bi`ahlika sū`an illā ay yusjana au ‘ażābun alīm
Dan keduanya berlomba menuju pintu dan perempuan itu menarik baju gamisnya (Yusuf) dari belakang hingga koyak dan keduanya mendapati suami perempuan itu di depan pintu. Dia (perempuan itu) berkata, “Apakah balasan (yang pantas) terhadap orang yang bermaksud buruk terhadap istrimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan siksa yang pedih?”
qāla hiya rāwadatnī ‘an nafsī wa syahida syāhidum min ahlihā, ing kāna qamīṣuhụ qudda ming qubulin fa ṣadaqat wa huwa minal-kāżibīn
Dia (Yusuf) berkata, “Dia yang menggodaku dan merayu diriku.” seorang saksi dari keluarga perempuan itu memberikan kesaksian, “Jika baju gamisnya koyak di bagian depan, maka peerempuan itu benar, dan dia (Yusuf) termasuk orang yang dusta.
wa ing kāna qamīṣuhụ qudda min duburin fa każabat wa huwa minaṣ-ṣādiqīn
Dan jika baju gamisnya koyak di bagian belakang, maka perempuan itulah yang dusta, dan dia (Yusuf) termasuk orang yang benar.”
fa lammā ra`ā qamīṣahụ qudda min duburing qāla innahụ ming kaidikunn, inna kaidakunna ‘aẓīm
Maka ketika dia (suami perempuan itu) melihat baju gamisnya (Yusuf) koyak di bagian belakang, dia berkata, “Sesungguhnya ini adalah tipu dayamu. Tipu dayamu benar-benar hebat.”
yụsufu a’riḍ ‘an hāżā wastagfirī liżambiki innaki kunti minal-khāṭi`īn
Wahai Yusuf! “Lupakanlah ini, dan (istriku) mohonlah ampunan atas dosamu, karena engkau termasuk orang yang bersalah.”
wa qāla niswatun fil-madīnatimra`atul-‘azīzi turāwidu fatāhā ‘an nafsih, qad syagafahā ḥubbā, innā lanarāhā fī ḍalālim mubīn
Dan perempuan-perempuan di kota berkata, “Istri Al-Aziz menggoda dan merayu pelayannya untuk menundukkan dirinya, pelayannya benar-benar membuatnya mabuk cinta. Kami pasti memandang dia dalam kesesatan yang nyata.”
fa lammā sami’at bimakrihinna arsalat ilaihinna wa a’tadat lahunna muttaka`aw wa ātat kulla wāḥidatim min-hunna sikkīnaw wa qālatikhruj ‘alaihinn, fa lammā ra`ainahū akbarnahụ wa qaṭṭa’na aidiyahunna wa qulna ḥāsya lillāhi mā hāżā basyarā, in hāżā illā malakung karīm
Maka ketika perempuan itu mendengar cercaan mereka, diundangnyalah perempuan-perempuan itu dan disediakannya tempat duduk bagi mereka, dan kepada masing-masing mereka diberikan sebilah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf), “Keluarlah (tampakkanlah dirimu) kepada mereka.” Ketika perempuan-perempuan itu melihatnya, mereka terpesona kepada (keelokan rupa)nya, dan mereka (tanpa sadar) melukai tangannya sendiri. Seraya berkata, “Mahasempurna Allah, ini bukanlah manusia. Ini benar-benar malaikat yang mulia.”
qālat fa żālikunnallażī lumtunnanī fīh, wa laqad rāwattuhụ ‘an nafsihī fasta’ṣam, wa la`il lam yaf’al mā āmuruhụ layusjananna wa layakụnam minaṣ-ṣāgirīn
Dia (istri Al-Aziz) berkata, “Itulah orangnya yang menyebabkan kamu mencela aku karena (aku tertarik) kepadanya, dan sungguh, aku telah menggoda untuk menundukkan dirinya tetapi dia menolak. Jika dia tidak melakukan apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan, dan dia akan menjadi orang yang hina.”
qāla rabbis-sijnu aḥabbu ilayya mimmā yad’ụnanī ilaīh, wa illā taṣrif ‘annī kaidahunna aṣbu ilaihinna wa akum minal-jāhilīn
Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku! Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika aku tidak Engkau hindarkan dari tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang yang bodoh.”
fastajāba lahụ rabbuhụ fa ṣarafa ‘an-hu kaidahunn, innahụ huwas-samī’ul ‘alīm
Maka Tuhan memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
ṡumma badā lahum mim ba’di mā ra`awul-āyāti layasjununnahụ ḥattā ḥīn
Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai waktu tertentu.
wa dakhala ma’ahus-sijna fatayān, qāla aḥaduhumā innī arānī a’ṣiru khamrā, wa qālal-ākharu innī arānī aḥmilu fauqa ra`sī khubzan ta`kuluṭ-ṭairu min-h, nabbi`nā bita`wīlih, innā narāka minal-muḥsinīn
Dan bersama dia masuk pula dua orang pemuda ke dalam penjara. Salah satunya berkata, “Sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur,” dan yang lainnya berkata, “Aku bermimpi, membawa roti di atas kepalaku, sebagiannya dimakan burung.” Berikanlah kepada kami takwilnya. Sesungguhnya kami memandangmu termasuk orang yang berbuat baik.
qāla lā ya`tīkumā ṭa’āmun turzaqānihī illā nabba`tukumā bita`wīlihī qabla ay ya`tiyakumā, żālikumā mimmā ‘allamanī rabbī, innī taraktu millata qaumil lā yu`minụna billāhi wa hum bil-ākhirati hum kāfirụn
Dia (Yusuf) berkata, “Makanan apa pun yang akan diberikan kepadamu berdua aku telah dapat menerangkan takwilnya, sebelum (makanan) itu sampai kepadamu. Itu sebagian dari yang diajarkan Tuhan kepadaku. Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, bahkan mereka tidak percaya kepada hari akhirat,
wattaba’tu millata ābā`ī ibrāhīma wa is-ḥāqa wa ya’qụb, mā kāna lanā an nusyrika billāhi min syaī`, żālika min faḍlillāhi ‘alainā wa ‘alan-nāsi wa lākinna akṡaran-nāsi lā yasykurụn
dan aku mengikuti agama nenek moyangku: Ibrahim, Ishak dan Yakub. Tidak pantas bagi kami (para nabi) mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah. Itu adalah karunia dari Allah kepada kami dan kepada manusia (semuanya); tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.
yā ṣāḥibayis-sijni a arbābum mutafarriqụna khairun amillāhul-wāḥidul-qahhār
Wahai kedua penghuni penjara! Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa, Mahaperkasa?
mā ta’budụna min dụnihī illā asmā`an sammaitumụhā antum wa ābā`ukum mā anzalallāhu bihā min sulṭān, inil-ḥukmu illā lillāh, amara allā ta’budū illā iyyāh, żālikad-dīnul-qayyimu wa lākinna akṡaran-nāsi lā ya’lamụn
Apa yang kamu sembah selain Dia, hanyalah nama-nama yang kamu buat-buat, baik oleh kamu sendiri maupun oleh nenek moyangmu. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang hal (nama-nama) itu. Keputusan itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
yā ṣāḥibayis-sijni ammā aḥadukumā fa yasqī rabbahụ khamrā, wa ammal-ākharu fa yuṣlabu fa ta`kuluṭ-ṭairu mir ra`sih, quḍiyal-amrullażī fīhi tastaftiyān
Wahai kedua penghuni penjara, “Salah seorang di antara kamu, akan bertugas menyediakan minuman khamar bagi tuannya. Adapun yang seorang lagi dia akan disalib, lalu burung memakan sebagian kepalanya. Telah terjawab perkara yang kamu tanyakan (kepadaku).”
wa qāla lillażī ẓanna annahụ nājim min-humażkurnī ‘inda rabbika fa ansāhusy-syaiṭānu żikra rabbihī fa labiṡa fis-sijni biḍ’a sinīn
Dan dia (Yusuf) berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat di antara mereka berdua, “Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu.” Maka setan menjadikan dia lupa untuk menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu dia (Yusuf) tetap dalam penjara beberapa tahun lamanya.
wa qālal-maliku innī arā sab’a baqarātin simāniy ya`kuluhunna sab’un ‘ijāfuw wa sab’a sumbulātin khuḍriw wa ukhara yābisāt, yā ayyuhal-mala`u aftụnī fī ru`yāya ing kuntum lir-ru`yā ta’burụn
Dan raja berkata (kepada para pemuka kaumnya), “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus; tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering. Wahai orang yang terkemuka! Terangkanlah kepadaku tentang takwil mimpiku itu jika kamu dapat menakwilkan mimpi.”
qālū aḍgāṡu aḥlām, wa mā naḥnu bita`wīlil-aḥlāmi bi’ālimīn
Mereka menjawab, “(Itu) mimpi-mimpi yang kosong dan kami tidak mampu menakwilkan mimpi itu.”
wa qālallażī najā min-humā waddakara ba’da ummatin ana unabbi`ukum bita`wīlihī fa arsilụn
Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) setelah beberapa waktu lamanya, “Aku akan memberitahukan kepadamu tentang (orang yang pandai) menakwilkan mimpi itu, maka utuslah aku (kepadanya).”
yụsufu ayyuhaṣ-ṣiddīqu aftinā fī sab’i baqarātin simāniy ya`kuluhunna sab’un ‘ijāfuw wa sab’i sumbulātin khuḍriw wa ukhara yābisātil la’allī arji’u ilan-nāsi la’allahum ya’lamụn
“Yusuf, wahai orang yang sangat dipercaya! Terangkanlah kepada kami (takwil mimpi) tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk yang dimakan oleh tujuh (ekor sapi betina) yang kurus, tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.”
qāla tazra’ụna sab’a sinīna da`abā, fa mā ḥaṣattum fa żarụhu fī sumbulihī illā qalīlam mimmā ta`kulụn
Dia (Yusuf) berkata, “Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan ditangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan.
ṡumma ya`tī mim ba’di żālika sab’un syidāduy ya`kulna mā qaddamtum lahunna illā qalīlam mimmā tuḥṣinụn
Kemudian setelah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan.
ṡumma ya`tī mim ba’di żālika ‘āmun fīhi yugāṡun-nāsu wa fīhi ya’ṣirụn
Setelah itu akan datang tahun, dimana manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur).”
wa qālal-maliku`tụnī bih, fa lammā jā`ahur-rasụlu qālarji’ ilā rabbika fas`al-hu mā bālun-niswatillātī qaṭṭa’na aidiyahunn, inna rabbī bikaidihinna ‘alīm
Dan raja berkata, “Bawalah dia kepadaku.” Ketika utusan itu datang kepadanya, dia (Yusuf) berkata, “Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakan kepadanya bagaimana halnya perempuan-perempuan yang telah melukai tangannya. Sungguh, Tuhanku Maha Mengetahui tipu daya mereka.”
qāla mā khaṭbukunna iż rāwattunna yụsufa ‘an nafsih, qulna ḥāsya lillāhi mā ‘alimnā ‘alaihi min sū`, qālatimra`atul-‘azīzil-āna ḥaṣ-ḥaṣal-ḥaqqu ana rāwattuhụ ‘an nafsihī wa innahụ laminaṣ-ṣādiqīn
Dia (raja) berkata (kepada perempuan-perempuan itu), “Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya?” Mereka berkata, “Mahasempurna Allah, kami tidak mengetahui sesuatu keburukan darinya.” Istri Al-Aziz berkata, “Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggoda dan merayunya, dan sesungguhnya dia termasuk orang yang benar.”
żālika liya’lama annī lam akhun-hu bil-gaibi wa annallāha lā yahdī kaidal-khā`inīn
(Yusuf berkata), “Yang demikian itu agar dia (Al-Aziz) mengetahui bahwa aku benar-benar tidak mengkhianatinya ketika dia tidak ada (di rumah), dan bahwa Allah tidak meridai tipu daya orang-orang yang berkhianat.
wa mā ubarri`u nafsī, innan-nafsa la`ammāratum bis-sū`i illā mā raḥima rabbī, inna rabbī gafụrur raḥīm
Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.
wa qālal-maliku`tụnī bihī astakhliṣ-hu linafsī, fa lammā kallamahụ qāla innakal-yauma ladainā makīnun amīn
Dan raja berkata, “Bawalah dia (Yusuf) kepadaku, agar aku memilih dia (sebagai orang yang dekat) kepadaku.” Ketika dia (raja) telah bercakap-cakap dengan dia, maka dia (raja) berkata, “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan terpercaya.”
qālaj’alnī ‘alā khazā`inil-arḍ, innī ḥafīẓun ‘alīm
Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan.”
wa każālika makkannā liyụsufa fil-arḍi yatabawwa`u min-hā ḥaiṡu yasyā`, nuṣību biraḥmatinā man nasyā`u wa lā nuḍī’u ajral-muḥsinīn
Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri ini (Mesir); untuk tinggal dimana saja yang dia kehendaki. Kami melimpahkan rahmat kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.
wa la`ajrul-ākhirati khairul lillażīna āmanụ wa kānụ yattaqụn
Dan sungguh, pahala akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.
wa jā`a ikhwatu yụsufa fa dakhalụ ‘alaihi fa ‘arafahum wa hum lahụ mungkirụn
Dan saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir) lalu mereka masuk ke (tempat)nya. Maka dia (Yusuf) mengenal mereka, sedangkan mereka tidak kenal (lagi) kepadanya.
wa lammā jahhazahum bijahāzihim qāla`tụnī bi`akhil lakum min abīkum, alā tarauna annī ụfil-kaila wa ana khairul-munzilīn
Dan ketika dia (Yusuf) menyiapkan bahan makanan untuk mereka, dia berkata, “Bawalah kepadaku saudaramu yang seayah dengan kamu (Bunyamin), tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan takaran dan aku adalah penerima tamu yang terbaik?
fa il lam ta`tụnī bihī fa lā kaila lakum ‘indī wa lā taqrabụn
Maka jika kamu tidak membawanya kepadaku, maka kamu tidak akan mendapat jatah (gandum) lagi dariku dan jangan kamu mendekatiku.”
qālụ sanurāwidu ‘an-hu abāhu wa innā lafā’ilụn
Mereka berkata, “Kami akan membujuk ayahnya (untuk membawanya) dan kami benar-benar akan melaksanakannya.”
wa qāla lifityānihij’alụ biḍā’atahum fī riḥālihim la’allahum ya’rifụnahā iżangqalabū ilā ahlihim la’allahum yarji’ụn
Dan dia (Yusuf) berkata kepada pelayan-pelayannya, “Masukkanlah barang-barang (penukar) mereka ke dalam karung-karungnya, agar mereka mengetahuinya apabila telah kembali kepada keluarganya, mudah-mudahan mereka kembali lagi.
fa lammā raja’ū ilā abīhim qālụ yā abānā muni’a minnal-kailu fa arsil ma’anā akhānā naktal wa innā lahụ laḥāfiẓụn
Maka ketika mereka telah kembali kepada ayahnya (Yakub) mereka berkata, “Wahai ayah kami! Kami tidak akan mendapat jatah (gandum) lagi, (jika tidak membawa saudara kami), sebab itu biarkanlah saudara kami pergi bersama kami agar kami mendapat jatah, dan kami benar-benar akan menjaganya.”
qāla hal āmanukum ‘alaihi illā kamā amintukum ‘alā akhīhi ming qabl, fallāhu khairun ḥāfiẓaw wa huwa ar-ḥamur-rāḥimīn
Dia (Yakub) berkata, “Bagaimana aku akan mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu?” Maka Allah adalah Penjaga yang terbaik dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.
wa lammā fataḥụ matā’ahum wajadụ biḍā’atahum ruddat ilaihim, qālụ yā abānā mā nabgī, hāżihī biḍā’atunā ruddat ilainā wa namīru ahlanā wa naḥfaẓu akhānā wa nazdādu kaila ba’īr, żālika kailuy yasīr
Dan ketika mereka membuka barang-barangnya, mereka menemukan barang-barang (penukar) mereka dikembalikan kepada mereka. Mereka berkata, “Wahai ayah kami! Apalagi yang kita inginkan. Ini barang-barang kita dikembalikan kepada kita, dan kita akan dapat memberi makan keluarga kita, dan kami akan memelihara saudara kami, dan kita akan mendapat tambahan jatah (gandum) seberat beban seekor unta. Itu suatu hal yang mudah (bagi raja Mesir).”
qāla lan ursilahụ ma’akum ḥattā tu`tụni mauṡiqam minallāhi lata`tunnanī bihī illā ay yuḥāṭa bikum, fa lammā ātauhu mauṡiqahum qālallāhu ‘alā mā naqụlu wakīl
Dia (Yakub) berkata, “Aku tidak akan melepaskannya (pergi) bersama kamu, sebelum kamu bersumpah kepadaku atas (nama) Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung (musuh).” Setelah mereka mengucapkan sumpah, dia (Yakub) berkata, “Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan.”
wa qāla yā baniyya lā tadkhulụ mim bābiw wāḥidiw wadkhulụ min abwābim mutafarriqah, wa mā ugnī ‘angkum minallāhi min syaī`, inil-ḥukmu illā lillāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ‘alaihi falyatawakkalil-mutawakkilụn
Dan dia (Yakub) berkata, “Wahai anak-anakku! Janganlah kamu masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berbeda; namun demikian aku tidak dapat mempertahankan kamu sedikit pun dari (takdir) Allah. Keputusan itu hanyalah bagi Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya pula bertawakallah orang-orang yang bertawakal.”
wa lammā dakhalụ min ḥaiṡu amarahum abụhum, mā kāna yugnī ‘an-hum minallāhi min syai`in illā ḥājatan fī nafsi ya’qụba qaḍāhā, wa innahụ lażụ ‘ilmil limā ‘allamnāhu wa lākinna akṡaran-nāsi lā ya’lamụn
Dan ketika mereka masuk sesuai dengan perintah ayah mereka, (masuknya mereka itu) tidak dapat menolak sedikit pun keputusan Allah, (tetapi itu) hanya suatu keinginan pada diri Yakub yang telah ditetapkannya. Dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
wa lammā dakhalụ ‘alā yụsufa āwā ilaihi akhāhu qāla innī ana akhụka fa lā tabta`is bimā kānụ ya’malụn
Dan ketika mereka masuk ke (tempat) Yusuf, dia menempatkan saudaranya (Bunyamin) di tempatnya, dia (Yusuf) berkata, “Sesungguhnya aku adalah saudaramu, jangan engkau bersedih hati atas apa yang telah mereka kerjakan.”
fa lammā jahhazahum bijahāzihim ja’alas-siqāyata fī raḥli akhīhi ṡumma ażżana mu`ażżinun ayyatuhal-‘īru innakum lasāriqụn
Maka ketika telah disiapkan bahan makanan untuk mereka, dia (Yusuf) memasukkan piala ke dalam karung saudaranya. Kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan, “Wahai kafilah! Sesungguhnya kamu pasti pencuri.”
qālụ wa aqbalụ ‘alaihim māżā tafqidụn
Mereka bertanya, sambil menghadap kepada mereka (yang menuduh), ” Kamu kehilangan apa?”
qālụ nafqidu ṣuwā’al-maliki wa liman jā`a bihī ḥimlu ba’īriw wa ana bihī za’īm
Mereka menjawab, “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu.”
qālụ tallāhi laqad ‘alimtum mā ji`nā linufsida fil-arḍi wa mā kunnā sāriqīn
Mereka (saudara-saudara Yusuf) menjawab, “Demi Allah, sungguh, kamu mengetahui bahwa kami datang bukan untuk berbuat kerusakan di negeri ini dan kami bukanlah para pencuri.”
qālụ fa mā jazā`uhū ing kuntum kāżibīn
Mereka berkata, “Tetapi apa hukumannya jika kamu dusta?”
qālụ jazā`uhụ maw wujida fī raḥlihī fa huwa jazā`uh, każālika najziẓ-ẓālimīn
Mereka menjawab, “Hukumannya ialah pada siapa yang ditemukan dalam karungnya (barang yang hilang itu), maka dia sendirilah yang menerima hukumannya. Demikianlah kami memberi hukuman kepada orang-orang zalim.”
fa bada`a bi`au’iyatihim qabla wi’ā`i akhīhi ṡummastakhrajahā miw wi’ā`i akhīh, każālika kidnā liyụsuf, mā kāna liya`khuża akhāhu fī dīnil-maliki illā ay yasyā`allāh, narfa’u darajātim man nasyā`, wa fauqa kulli żī ‘ilmin ‘alīm
Maka mulailah dia (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan (piala raja) itu dari karung saudaranya. Demikianlah Kami mengatur (rencana) untuk Yusuf. Dia tidak dapat menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. Kami angkat derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas setiap orang yang berpengetahuan ada yang lebih mengetahui.
qālū iy yasriq fa qad saraqa akhul lahụ ming qabl, fa asarrahā yụsufu fī nafsihī wa lam yubdihā lahum, qāla antum syarrum makānā, wallāhu a’lamu bimā taṣifụn
Mereka berkata, “Jika dia mencuri, maka sungguh sebelum itu saudaranya pun pernah pula mencuri.” Maka Yusuf menyembunyikan (kejengkelan) dalam hatinya dan tidak ditampakkannya kepada mereka. Dia berkata (dalam hatinya), “Kedudukanmu justru lebih buruk. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu terangkan.”
qālụ yā ayyuhal-‘azīzu inna lahū aban syaikhang kabīran fa khuż aḥadanā makānah, innā narāka minal-muḥsinīn
Mereka berkata, “Wahai Al-Aziz! Dia mempunyai ayah yang sudah lanjut usia, karena itu ambillah salah seorang di antara kami sebagai gantinya, sesungguhnya kami melihat engkau termasuk orang-orang yang berbuat baik.”
qāla ma’āżallāhi an na`khuża illā maw wajadnā matā’anā ‘indahū innā iżal laẓālimụn
Dia (Yusuf) berkata, “Aku memohon perlindungan kepada Allah dari menahan (seseorang), kecuali orang yang kami temukan harta kami padanya, jika kami (berbuat) demikian, berarti kami orang yang zalim.”
fa lammastai`asụ min-hu khalaṣụ najiyyā, qāla kabīruhum a lam ta’lamū anna abākum qad akhaża ‘alaikum mauṡiqam minallāhi wa ming qablu mā farrattum fī yụsufa fa lan abraḥal-arḍa ḥattā ya`żana lī abī au yaḥkumallāhu lī, wa huwa khairul-ḥākimīn
Maka ketika mereka berputus asa darinya (putusan Yusuf) mereka menyendiri (sambil berunding) dengan berbisik-bisik. Yang tertua di antara mereka berkata, “Tidakkah kamu ketahui bahwa ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan (nama) Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf? Sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri ini (Mesir), sampai ayahku mengizinkan (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan Dia adalah hakim yang terbaik.”
irji’ū ilā abīkum fa qụlụ yā abānā innabnaka saraq, wa mā syahidnā illā bimā ‘alimnā wa mā kunnā lil-gaibi ḥāfiẓīn
Kembalilah kepada ayahmu dan katakanlah, “Wahai ayah kami! Sesungguhnya anakmu telah mencuri dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui dan kami tidak mengetahui apa yang dibalik itu.
was`alil-qaryatallatī kunnā fīhā wal-‘īrallatī aqbalnā fīhā, wa innā laṣādiqụn
Dan tanyalah (penduduk) negeri tempat kami berada, dan kafilah yang datang bersama kami. Dan kami adalah orang yang benar.”
qāla bal sawwalat lakum anfusukum amrā, fa ṣabrun jamīl, ‘asallāhu ay ya`tiyanī bihim jamī’ā, innahụ huwal-‘alīmul-ḥakīm
Dia (Yakub) berkata, “Sebenarnya hanya dirimu sendiri yang memandang baik urusan (yang buruk) itu. Maka (kesabaranku) adalah kesabaran yang baik. Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku. Sungguh, Dialah Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
wa tawallā ‘an-hum wa qāla yā asafā ‘alā yụsufa wabyaḍḍat ‘aināhu minal-ḥuzni fa huwa kaẓīm
Dan dia (Yakub) berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata, “Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf,” dan kedua matanya menjadi putih karena sedih Dia diam menahan amarah (terhadap anak-anaknya).
qālụ tallāhi tafta`u tażkuru yụsufa ḥattā takụna ḥaraḍan au takụna minal-hālikīn
Mereka berkata, “Demi Allah, engkau tidak henti-hentinya mengingat Yusuf, sehingga engkau (mengidapkan penyakit) berat atau engkau termasuk orang-orang yang akan binasa.”
qāla innamā asykụ baṡṡī wa ḥuznī ilallāhi wa a’lamu minallāhi mā lā ta’lamụn
Dia (Yakub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.
yā baniyyaż-habụ fa taḥassasụ miy yụsufa wa akhīhi wa lā tai`asụ mir rauḥillāh, innahụ lā yai`asu mir rauḥillāhi illal-qaumul-kāfirụn
Wahai anak-anakku! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.”
fa lammā dakhalụ ‘alaihi qālụ yā ayyuhal-‘azīzu massanā wa ahlanaḍ-ḍurru wa ji`nā bibiḍā’atim muzjātin fa aufi lanal-kaila wa taṣaddaq ‘alainā, innallāha yajzil-mutaṣaddiqīn
Maka ketika mereka masuk ke (tempat) Yusuf, mereka berkata, “Wahai Al-Aziz! Kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan dan kami datang membawa barang-barang yang tidak berharga, maka penuhilah jatah (gandum) untuk kami, dan bersedekahlah kepada kami. Sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang yang bersedekah.”
qāla hal ‘alimtum mā fa’altum biyụsufa wa akhīhi iż antum jāhilụn
Dia (Yusuf) berkata, “Tahukah kamu (kejelekan) apa yang telah kamu perbuat terhadap Yusuf dan saudaranya karena kamu tidak menyadari (akibat) perbuatanmu itu?”
qālū a innaka la`anta yụsuf, qāla ana yụsufu wa hāżā akhī qad mannallāhu ‘alainā, innahụ might yattaqi wa yaṣbir fa innallāha lā yuḍī’u ajral-muḥsinīn
Mereka berkata, “Apakah engkau benar-benar Yusuf?” Dia (Yusuf) menjawab, “Aku Yusuf dan ini saudaraku. Sungguh, Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami.” Sesungguhnya barang siapa bertakwa dan bersabar, maka sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.”
qālụ tallāhi laqad āṡarakallāhu ‘alainā wa ing kunnā lakhāṭi`īn
Mereka berkata, “Demi Allah, sungguh Allah telah melebihkan engkau di atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang yang bersalah (berdosa).”
qāla lā taṡrība ‘alaikumul-yaụm, yagfirullāhu lakum wa huwa ar-ḥamur-rāḥimīn
Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.
iż-habụ biqamīṣī hāżā fa alqụhu ‘alā waj-hi abī ya`ti baṣīrā, wa`tụnī bi`ahlikum ajma’īn
Pergilah kamu dengan membawa bajuku ini, lalu usapkan ke wajah ayahku, nanti dia akan melihat kembali; dan bawalah seluruh keluargamu kepadaku.”
wa lammā faṣalatil-‘īru qāla abụhum innī la`ajidu rīḥa yụsufa lau lā an tufannidụn
Dan ketika kafilah itu telah keluar (dari negeri Mesir), ayah mereka berkata, “Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku).”
qālụ tallāhi innaka lafī ḍalālikal-qadīm
Mereka (keluarganya) berkata, “Demi Allah, sesungguhnya engkau masih dalam kekeliruanmu yang dahulu.”
fa lammā an jā`al-basyīru alqāhu ‘alā waj-hihī fartadda baṣīrā, qāla a lam aqul lakum innī a’lamu minallāhi mā lā ta’lamụn
Maka ketika telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diusapkannya (baju itu) ke wajahnya (Yakub), lalu dia dapat melihat kembali. Dia (Yakub) berkata, “Bukankah telah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.”
qālụ yā abānastagfir lanā żunụbanā innā kunnā khāṭi`īn
Mereka berkata, “Wahai ayah kami! Mohonkanlah ampunan untuk kami atas dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang yang bersalah (berdosa).”
qāla saufa astagfiru lakum rabbī, innahụ huwal-gafụrur-raḥīm
Dia (Yakub) berkata, “Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sungguh, Dia Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
fa lammā dakhalụ ‘alā yụsufa āwā ilaihi abawaihi wa qāladkhulụ miṣra in syā`allāhu āminīn
Maka ketika mereka masuk ke (tempat) Yusuf, dia merangkul (dan menyiapkan tempat untuk) kedua orang tuanya seraya berkata, “Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman.”
wa rafa’a abawaihi ‘alal-‘arsyi wa kharrụ lahụ sujjadā, wa qāla yā abati hāżā ta`wīlu ru`yāya ming qablu qad ja’alahā rabbī ḥaqqā, wa qad aḥsana bī iż akhrajanī minas-sijni wa jā`a bikum minal-badwi mim ba’di an nazagasy-syaiṭānu bainī wa baina ikhwatī, inna rabbī laṭīful limā yasyā`, innahụ huwal-‘alīmul-ḥakīm
Dan dia menaikkan kedua orang tuanya ke atas singgasana. Dan mereka (semua) tunduk bersujud kepadanya (Yusuf). Dan dia (Yusuf) berkata, “Wahai ayahku! Inilah takwil mimpiku yang dahulu. Dan sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya kenyataan. Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari penjara dan ketika membawa kamu dari dusun, setelah setan merusak (hubungan) antara aku dengan saudara-saudaraku. Sungguh, Tuhanku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
rabbi qad ātaitanī minal-mulki wa ‘allamtanī min ta`wīlil-aḥādīṡ, fāṭiras-samāwāti wal-arḍ, anta waliyyī fid-dun-yā wal-ākhirah, tawaffanī muslimaw wa al-ḥiqnī biṣ-ṣāliḥīn
Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil mimpi. (Wahai Tuhan) pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang yang saleh.”
żālika min ambā`il-gaibi nụḥīhi ilaīk, wa mā kunta ladaihim iż ajma’ū amrahum wa hum yamkurụn
Itulah sebagian berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); padahal engkau tidak berada di samping mereka, ketika mereka bersepakat mengatur tipu muslihat (untuk memasukan Yusuf ke dalam sumur).
wa mā akṡarun-nāsi walau ḥaraṣta bimu`minīn
Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya.
wa mā tas`aluhum ‘alaihi min ajr, in huwa illā żikrul lil-‘ālamīn
Dan engkau tidak meminta imbalan apa pun kepada mereka (terhadap seruanmu ini), sebab (seruan) itu adalah pengajaran bagi seluruh alam.
wa ka`ayyim min āyatin fis-samāwāti wal-arḍi yamurrụna ‘alaihā wa hum ‘an-hā mu’riḍụn
Dan berapa banyak tanda-tanda (kebesaran Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, namun mereka berpaling darinya.
wa mā yu`minu akṡaruhum billāhi illā wa hum musyrikụn
Dan kebanyakan mereka tidak beriman kepada Allah, bahkan mereka mempersekutukan-Nya.
a fa aminū an ta`tiyahum gāsyiyatum min ‘ażābillāhi au ta`tiyahumus-sā’atu bagtataw wa hum lā yasy’urụn
Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah yang meliputi mereka, atau kedatangan kiamat kepada mereka secara mendadak, sedangkan mereka tidak menyadarinya?
qul hāżihī sabīlī advert’ū ilallāh, ‘alā baṣīratin ana wa manittaba’anī, wa sub-ḥānallāhi wa mā ana minal-musyrikīn
Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.”
wa mā arsalnā ming qablika illā rijālan nụḥī ilaihim min ahlil-qurā, a fa lam yasīrụ fil-arḍi fa yanẓurụ kaifa kāna ‘āqibatullażīna ming qablihim, wa ladārul-ākhirati khairul lillażīnattaqau, a fa lā ta’qilụn
Dan Kami tidak mengutus sebelummu (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Tidakkah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul). Dan sungguh, negeri akhirat itu lebih baik bagi orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?
ḥattā iżastai`asar-rusulu wa ẓannū annahum qad kużibụ jā`ahum naṣrunā fa nujjiya man nasyā`, wa lā yuraddu ba`sunā ‘anil-qaumil-mujrimīn
Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan kaumnya) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada mereka (para rasul) itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang yang Kami kehendaki. Dan siksa Kami tidak dapat ditolak dari orang yang berdosa.
laqad kāna fī qaṣaṣihim ‘ibratul li`ulil-albāb, mā kāna ḥadīṡay yuftarā wa lākin taṣdīqallażī baina yadaihi wa tafṣīla kulli syai`iw wa hudaw wa raḥmatal liqaumiy yu`minụn
Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Alquran) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
The subject matter of this Surah indicates that it was revealed during the last stage of the Holy Prophet’s residence at Makkah, when the Quraish were considering the question of killing or exiling or imprisoning him. At that time some of the unbelievers put this question (probably at the instigation of the Jews) to test him :”Why did the Israelites go to Egypt?” This question was asked because they knew that their story was not known to the Arabs for there was no mention of it whatever in their traditions and the Holy Prophet had never even referred to it before. Therefore they expected that he would not be able to give any satisfactory answer to this question or would first evade it, and afterwards try to inquire about it from some Jew, and thus he would be totally exposed. But, contrary to their expectations, the tables were turned on them, for Allah revealed the whole story of Prophet Joseph then and there, and the Holy Prophet recited it on the spot. This put the Quraish in
a very awkward position because it not only foiled their scheme but also administered a warning to them by aptly applying it to their case, as if to say, “As you are behaving towards this Prophet, exactly in the same way the brothers of Prophet Joseph behaved towards him; so you shall meet with the same end.”
From the above it is clear that this Surah was sent down for two objects:
The first object was to give the proof of the Prophethood of Muhammad (Allah’s peace be upon him), and that too, the one demanded by the opponents themselves so as to prove conclusively that his knowledge was not based on mere hearsay, but was gained through Revelation. This aspect has been stated explicitly in its introductory verses and explained plainly in its concluding portion.
The second object was to apply it to the Quraish and warn them that ultimately the conflict between them and the Holy Prophet would end in his victory over them. As they were then persecuting their brother, the Holy Prophet, in the same way the brothers of Prophet Joseph had treated him. The Quraish were told indirectly that they would also fail in their evil designs just as the brothers of Prophet Joseph had failed in his case, even after casting him into the well. This is because none has the power to defeat the Divine will. And just as the brothers of Prophet Joseph had to humble themselves before him, so one day the Quraish shall have to beg forgiveness from their brother whom they were then trying to crush down. This, too, has been made quite plain in v. 7: “Indeed there are signs in this story of Joseph and his brothers for these inquirers from among the Quraish.”
The fact is that by applying this story to the conflict, the Quran had made a bold and clear prophecy, which was fulfilled literally by the events that happened in the succeeding ten years. Hardly two years had passed after its revelation, when the Quraish conspired to kill the Holy Prophet like the brothers of Prophet Joseph, and he had to emigrate from Makkah to Al-Madinah, where he gained the same kind of power as Prophet Joseph had gained in Egypt. Again, in the end the Quraish had to humble themselves before him just like the brothers of Prophet Joseph, when they humbly requested, “Show mercy to us for Allah rewards richly those who show mercy” (v. 88), and Prophet Joseph generously forgave them, (though he had complete power to wreak vengeance on them,) saying, ” today no penalty shall be inflicted on you. May Allah forgive you:He is the greatest of all those who forgive” (v. 92). The same story of mercy was repeated, when after the conquest of Makkah, the crest fallen
Quraish stood meekly before the Holy Prophet, who had full power to wreak his vengeance on them for each and every cruelty committed by them. But instead, he merely asked them, “What treatment do you expect from me now?” They replied, “You are a generous brother and the son of a generous brother.” At this, he very generously forgave them, saying, “I will give the same answer to your request that Joseph gave to his brothers: “…today, no penalty shall be inflicted on you: you are forgiven.”
Moreover, the Quran does not relate this story as a mere narrative but uses it, as usual, for the propagation of the Message in the following ways:-
Throughout the narrative the Quran has made it clear that the Faith of Prophets Abraham, Isaac, Jacob and Joseph (Allah’s peace be upon them all) was the same as that of Prophet Muhammad (Allah’s peace be upon him) and they invited the people to the same Message to which Muhammad (Allah’s peace be upon him) was inviting them.
Then it places the characters of Prophet Jacob and Prophet Joseph side by side with the characters of the brothers of Joseph, the members of the trade caravan, the court dignitary; Al Aziz of Egypt and his wife, the “ladies” of Egypt and the rulers of Egypt and poses a silent question to the reader, as if to say, “Contrast the former characters molded by Islam on the bedrock of the worship of Allah and accountability in the Hereafter with the latter molded by kufr and “ignorance” on the worship of the world and disregard of Allah and the Hereafter, and decide for yourselves which of these two patterns you would choose.”
The Quran has used this story to bring forth another truth: whatever Allah wills, He fulfills it anyhow, and man can never defeat His plan with his counterplans nor prevent it from happening nor change it in any way whatever. Nay, it often so happens that man adopts some measure to fulfill his own design and believes that he has done that very thing which would fulfill his design, but in the end he finds to his dismay that he had done something which was against his own and conducive to the Divine purpose. When the brothers of Prophet Joseph cast him into the well, they believed that they had once for all got rid of the obstacle in their way but in fact, they had paved the way for the Divine purpose of making him the ruler of Egypt, before whom they would have to humble themselves in the end. Likewise, the wife of Aziz had sent Prophet Joseph to the prison, floating over the thought that she had wreaked her vengeance on him, but, in fact, she had provided for him the opportunity
for becoming the ruler of Egypt and for putting herself to the shame of confessing her own sin publicly.
And these are not the solitary instances which prove the truth that even if the whole world united to bring about the down fall of the one whom Allah willed to raise high, it could not succeed. Nay, the very “sure and effective” measures that were adopted by the brothers to degrade Joseph were used by Allah for the success of Joseph and for the humiliation and disgrace of his brothers. On the other hand, if Allah willed the fall of one, no measure, howsoever effective, could raise him high : nay, it helped to bring about his fall and the disgrace of those who adopted them.
Moreover, the story contains other lessons for those who intend to follow the way of Allah. The first lesson it teaches is that one should remain within the limits, prescribed by the Divine Law, in one’s aims and objects and measures, for success and failure are entirely in the hands of Allah. Therefore if one adopts pure aims and lawful measures but fails, at least one will escape ignominy and disgrace. On the other hand, the one who adopts an impure aim and unlawful measures to achieve it, shall not only inevitably meet with ignominy and disgrace in the Hereafter, but also runs the risk of ignominy and disgrace in this world.
The second lesson it teaches is that those who exert for the cause of truth and righteousness and put their trust in Allah and entrust all their affairs to Him, get consolation and comfort from Him, for this helps them face their opponents with confidence and courage and they do not lose heart, when they encounter the apparently terrifying measures of the powerful enemies. They will persevere in their task without fear and leave the results to Allah.
But the greatest lesson this story teaches is that if the Believer possesses true Islamic character and is endowed with wisdom, he can conquer a whole country with the strength of his character alone. The marvelous example of Prophet Joseph teaches us that a man of high and pure character comes out successful even under the most adverse circumstances. When Prophet Joseph went to Egypt, he was only a lad of seventeen years, a foreigner, all alone and without any provisions; nay, he had been sold there as a slave. And the horrible condition of the slaves during that period is known to every student of history. Then he was charged with a heinous moral Crime and sent to prison for an indefinite term. But throughout this period of affliction, he evinced the highest moral qualities which raised him to the highest rank in the country.
The following historical and geographical details will help understand the story:
Prophet Joseph was a son of Prophet Jacob and a grandson of Prophet Isaac and a great grandson of Prophet Abraham (Allah’s peace be upon them all). The Bible says (and the allusions in the Quran also confirm this) that Prophet Jacob had twelve sons from four wives. Prophet Joseph and his younger brother Benjamin were from one wife and the other ten from the other wives. Prophet Jacob had settled at Hebron (Palestine) where his father Prophet Isaac and before him Prophet Abraham lived and owned a piece of land at Shechem as well.
According to the research scholars of the Bible, Prophet Joseph was born in or about 906 B. C. and the incident with which this story begins happened in or about 890 B. C. He was seventeen when he saw the dream and was thrown into the well. This well was near Dothan to the north of Shechem according to Biblical and Talmudic traditions, and the caravan, which took him out of the well, was coming from Gilead (Trans-Jordan), and was on its way to Egypt.
At that time Fifteenth Dynasty ruled over Egypt, whose rulers are known in history as the Hyksos kings. They belonged to the Arab race, but had migrated from Palestine and Syria to Egypt in or about 2000 B. C. and taken possession of the country. The Arab historians and the commentators of the Quran have given them the name of Amaliq (the Amalekites), and this has been corroborated by the recent researches made by the Egyptologists. They were foreign invaders who had got the opportunity of establishing their kingdom because of the internal feuds in the country. That is why there was no prejudice in the way of Prophet Joseph’s ascendancy to power and in the subsequent settlement of the Children of Israel in the most fertile region of Egypt. They could gain that power and influence which they did, because they belonged to the same race as the foreign rulers of Egypt.
The Hyksos ruled over Egypt up to the end of the fifteenth century B. C., and practically all the powers remained in the hands of the Israelites. The Quran has made a reference to this in v. 20 of Al-Ma’idah: “…He raised Prophets among you and made you rulers.” Then there arose a great nationalist movement which overthrew the power of this dynasty and exiled 250,000 or so of the Amalekites. As a result of this, a very bigoted dynasty of Copts came into power and uprooted everything connected with the Amalekites. Then started that persecution of the Israelites which has been mentioned in connection with the story of Prophet Moses.
We also learn from the history of Egypt that the “Hyksos kings” did not acknowledge the gods of Egypt and, therefore, had imported their own gods from Syria, with a view to spreading their own religion in Egypt. This is the reason why the Quran has not called the king who was the contemporary of Prophet Joseph by the title of “Pharaoh,” because this title was associated with the religion of the original people of Egypt and the Hyksos did not believe in it, but the Bible erroneously calls him “Pharaoh.” It appears that the editors of the Bible had the misunderstanding that all the kings of Egypt were “Pharaohs.”
The modern research scholars who have made a comparative study of the Bible and the Egyptian history are generally of the opinion that Apophis was the Hyksos king, who was the contemporary of Prophet Joseph.
At that time Memphis was the capital of Egypt, whose ruins are still found on the Nile at a distance of 4 miles south of Cairo. When Prophet Joseph was taken there, he was 17 or 18 years old. He remained in the house of Aziz for three years and spent nine years in prison, and then became the ruler of the land at the age of thirty and ruled over Egypt independently for eighty years. In the ninth or tenth year of his rule he sent for his father, Prophet Jacob, to come from Palestine to Egypt with all the members of his family and, according to the Bible, settled them in the land of Goshen, where they lived up to the time of Prophet Moses. The Bible says that before his death, Prophet Joseph bound his kindred by an oath: “when you return from this country to the house of your forefathers you must take my bones out of this country with you. So he died a hundred and ten years old, and they embalmed him…”
Though the story of Prophet Joseph as given in the Quran differs very much in its details from that given in the Bible and the Talmud, the Three generally agree in regard to its component parts. We shall explain the differences, when and where necessary, in our Explanatory Notes.