Quran Terjemahan Kemenag RI
wailul lil-muṭaffifīn
Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)!
allażīna iżaktālụ ‘alan-nāsi yastaufụn
(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan,
wa iżā kālụhum aw wazanụhum yukhsirụn
dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi.
alā yaẓunnu ulā`ika annahum mab’ụṡụn
Tidakkah mereka itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,
liyaumin ‘aẓīm
pada suatu hari yang besar,
yauma yaqụmun-nāsu lirabbil-‘ālamīn
(yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Tuhan seluruh alam.
kallā inna kitābal-fujjāri lafī sijjīn
Sekali-kali jangan begitu! Sesungguhnya catatan orang yang durhaka benar-benar tersimpan dalam Sijjīn.
wa mā adrāka mā sijjīn
Dan tahukah engkau apakah Sijjīn itu?
kitābum marqụm
(Yaitu) Kitab yang berisi catatan (amal).
wailuy yauma`iżil lil-mukażżibīn
Celakalah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan!
allażīna yukażżibụna biyaumid-dīn
(yaitu) orang-orang yang mendustakannya (hari pembalasan).
wa mā yukażżibu bihī illā kullu mu’tadin aṡīm
Dan tidak ada yang mendustakannya (hari pembalasan) kecuali setiap orang yang melampaui batas dan berdosa,
iżā tutlā ‘alaihi āyātunā qāla asāṭīrul-awwalīn
yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berkata, “Itu adalah dongeng orang-orang dahulu.”
kallā bal rāna ‘alā qulụbihim mā kānụ yaksibụn
Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.
kallā innahum ‘ar rabbihim yauma`iżil lamaḥjụbụn
Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya.
ṡumma innahum laṣālul-jaḥīm
Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka.
ṡumma yuqālu hāżallażī kuntum bihī tukażżibụn
Kemudian, dikatakan (kepada mereka), “Inilah (azab) yang dahulu kamu dustakan.”
kallā inna kitābal-abrāri lafī ‘illiyyīn
Sekali-kali tidak! Sesungguhnya catatan orang-orang yang berbakti benar-benar tersimpan dalam ‘Illiyyīn.
wa mā adrāka mā ‘illiyyụn
Dan tahukah engkau apakah ‘Illiyyīn itu?
kitābum marqụm
(Yaitu) Kitab yang berisi catatan (amal),
yasy-haduhul-muqarrabụn
yang disaksikan oleh (malaikat-malaikat) yang didekatkan (kepada Allah).
innal-abrāra lafī na’īm
Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan,
‘alal-arā`iki yanẓurụn
mereka (duduk) di atas dipan-dipan melepas pandangan.
ta’rifu fī wujụhihim naḍratan na’īm
Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup yang penuh kenikmatan.
yusqauna mir raḥīqim makhtụm
Mereka diberi minum dari khamar murni (tidak memabukkan) yang (tempatnya) masih dilak (disegel),
khitāmuhụ misk, wa fī żālika falyatanāfasil-mutanāfisụn
laknya dari kasturi. Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.
wa mizājuhụ min tasnīm
Dan campurannya dari tasnīm,
‘ainay yasyrabu bihal-muqarrabụn
(yaitu) mata air yang diminum oleh mereka yang dekat (kepada Allah).
innallażīna ajramụ kānụ minallażīna āmanụ yaḍ-ḥakụn
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulu menertawakan orang-orang yang beriman.
wa iżā marrụ bihim yatagāmazụn
Dan apabila mereka (orang-orang yang beriman) melintas di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya,
wa iżangqalabū ilā ahlihimungqalabụ fakihīn
dan apabila kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira ria.
wa iżā ra`auhum qālū inna hā`ulā`i laḍāllụn
Dan apabila mereka melihat (orang-orang mukmin), mereka mengatakan, “Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang sesat,”
wa mā ursilụ ‘alaihim ḥāfiẓīn
padahal (orang-orang yang berdosa itu), mereka tidak diutus sebagai penjaga (orang-orang mukmin).
fal-yaumallażīna āmanụ minal-kuffāri yaḍ-ḥakụn
Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman yang menertawakan orang-orang kafir,
‘alal-arā`iki yanẓurụn
mereka (duduk) di atas dipan-dipan melepas pandangan.
hal ṡuwwibal-kuffāru mā kānụ yaf’alụn
Apakah orang-orang kafir itu diberi balasan (hukuman) terhadap apa yang telah mereka perbuat?
It is derived from the very first verse; Wayl-ul-lil mutaffifin.
The style of the Surah and its subject matter clearly show that it was revealed in the earliest stage at Makkah, when surah after surah was being revealed to impress the doctrine of the Hereafter on the people’s minds. This Surah was revealed when they had started ridiculing the Muslims and disgracing them publicly in the streets and in their assemblies, but persecution and manhandling of the Muslims had not yet started. Some commentators regard this as a Madani Surah. This misunderstanding has been caused by a tradition from Ibn Abbas according to which when the Holy Prophet (upon whom be peace) arrived in Madinah, the evil of giving short weight and measure was widespread among the people there. Then Allah sent down Wayl ul-lil mutaffifin and the people began to give full weight and measure. (Nasa’i, Ibn Majah, Ibn Marduyah, Ibn Jarir, Baihaqi: Shu\`ab-il-Iman) But, as we have explained in the introduction to Surah Ad-Dahr, the common practice with the
Companions and their successors was that when they found that a verse applied to a certain matter of life, they would say that it had been sent down concerning that particular matter. Therefore, what is proved by the tradition of Ibn Abbas is that when after his emigration to Madinah the Holy Prophet (upon whom be peace) saw that the evil was widespread among the people there, he recited this Surah before them by Allah’s Command and this helped them mend their ways.
The theme of this Surah too is the Hereafter. In the first six verses the people have been taken to task for the prevalent evil practice in their commercial dealings. When they had to receive their due from others, they demanded that it be given in full, but when they had to measure or weigh for others, they would give less than what was due. Taking this one evil as an example out of countless evils prevalent in society, it has been said that it is an inevitable result of the heedlessness of the Hereafter. Unless the people realized that one day they would have to appear before God and account for each single act they performed in the world, it was not possible that they would adopt piety and righteousness in their daily affairs. Even if a person might practice honesty in some of his less important dealings in view of “honesty is the best policy,” he would never practice honesty on occasions when dishonesty would seem to be “the best policy”. Man can develop true and enduring
honesty only when he fears God and sincerely believes in the Hereafter, for then he would regard honesty not merely as “a policy” but as “a duty” and obligation, and his being constant in it, or otherwise, would not be dependent on its being useful or useless in the world.
Thus, after making explicit the relation between morality and the doctrine of the Hereafter in an effective and impressive way, in vv. 7-17, it has been said: The deeds of the wicked are already being recorded in the black list of the culprits, and in the Hereafter they will meet with utter ruin. Then in vv. 18-28, the best end of the virtuous has been described and it has been laid that their deeds are being recorded in the list of the exalted people, on which are appointed the angels nearest to Allah.
In conclusion, the believers have been consoled, and the disbelievers warned, as if to say: “The people who are disgracing and humiliating the believers today, are culprits who, on the Resurrection Day, will meet with a most evil end in consequence of their conduct, and these very believers will feel comforted when they see their fate.”