Quran Terjemahan Kemenag RI
ḥā mīm
Ḥā Mīm.
tanzīlul-kitābi minallāhil-‘azīzil-ḥakīm
Kitab ini diturunkan dari Allah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
mā khalaqnas-samāwāti wal-arḍa wa mā bainahumā illā bil-ḥaqqi wa ajalim musamman, wallażīna kafarụ ‘ammā unżirụ mu’riḍụn
Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Namun orang-orang yang kafir berpaling dari peringatan yang diberikan kepada mereka.
qul a ra`aitum mā tad’ụna min dụnillāhi arụnī māżā khalaqụ minal-arḍi am lahum syirkun fis-samāwāti`tụnī bikitābim ming qabli hāżā au aṡāratim min ‘ilmin ing kuntum ṣādiqīn
Katakanlah (Muhammad), “Terangkanlah (kepadaku) tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepadaku apa yang telah mereka ciptakan dari bumi, atau adakah peran serta mereka dalam (penciptaan) langit? Bawalah kepadaku kitab sebelum (Alquran) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu orang yang benar.”
wa man aḍallu mim could yad’ụ min dụnillāhi mal lā yastajību lahū ilā yaumil-qiyāmati wa hum ‘an du’ā`ihim gāfilụn
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang menyembah selain Allah, (sembahan) yang tidak dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari Kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka?
wa iżā ḥusyiran-nāsu kānụ lahum a’dā`aw wa kānụ bi’ibādatihim kāfirīn
Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari Kiamat), sesembahan itu menjadi musuh mereka, dan mengingkari pemujaan-pemujaan yang mereka lakukan kepadanya.
wa iżā tutlā ‘alaihim āyātunā bayyināting qālallażīna kafarụ lil-ḥaqqi lammā jā`ahum hāżā siḥrum mubīn
Dan apabila dibacakan ayat-ayat Kami yang jelas kepada mereka, orang-orang yang kafir berkata, ketika kebenaran itu datang kepada mereka, “Ini adalah sihir yang nyata.”
am yaqụlụnaftarāh, qul iniftaraituhụ fa lā tamlikụna lī minallāhi syai`ā, huwa a’lamu bimā tufīḍụna fīh, kafā bihī syahīdam bainī wa bainakum, wa huwal-gafụrur-raḥīm
Bahkan mereka berkata, “Dia (Muhammad) telah mengada-adakannya (Alquran).” Katakanlah, “Jika aku mengada-adakannya, maka kamu tidak kuasa sedikit pun menghindarkan aku dari (azab) Allah. Dia lebih tahu apa yang kamu percakapkan tentang Alquran ini. Cukuplah Dia menjadi saksi antara aku dengan kamu. Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
qul mā kuntu bid’am minar-rusuli wa mā adrī mā yuf’alu bī wa lā bikum, in attabi’u illā mā yụḥā ilayya wa mā ana illā nażīrum mubīn
Katakanlah (Muhammad), “Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul, dan aku tidak tahu apa yang akan diperbuat terhadapku dan terhadapmu. Aku hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku, dan aku hanyalah pemberi peringatan yang menjelaskan.”
qul ara`aitum ing kāna min ‘indillāhi wa kafartum bihī wa syahida syāhidum mim banī isrā`īla ‘alā miṡlihī fa āmana wastakbartum, innallāha lā yahdil-qaumaẓ-ẓālimīn
Katakanlah, “Terangkan kepadaku, bagaimana pendapatmu jika sebenarnya (Alquran) ini datang dari Allah, dan kamu mengingkarinya, padahal ada seorang saksi dari Bani Israil yang mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) Alquran lalu dia beriman; kamu menyombongkan diri. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
wa qālallażīna kafarụ lillażīna āmanụ lau kāna khairam mā sabaqụnā ilaīh, wa iż lam yahtadụ bihī fa sayaqụlụna hāżā ifkung qadīm
Dan orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, “Sekiranya Alquran itu sesuatu yang baik, tentu mereka tidak pantas mendahului kami (beriman) kepadanya. Tetapi karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka mereka akan berkata, “Ini adalah dusta yang lama.”
wa ming qablihī kitābu mụsā imāmaw wa raḥmah, wa hāżā kitābum muṣaddiqul lisānan ‘arabiyyal liyunżirallażīna ẓalamụ wa busyrā lil-muḥsinīn
Dan sebelum (Alquran) itu telah ada Kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan (Alquran) ini adalah Kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
innallażīna qālụ rabbunallāhu ṡummastaqāmụ fa lā khaufun ‘alaihim wa lā hum yaḥzanụn
Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka tetap istikamah, tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati.
ulā`ika aṣ-ḥābul-jannati khālidīna fīhā, jazā`am bimā kānụ ya’malụn
Mereka itulah para penghuni surga, kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.
wa waṣṣainal-insāna biwālidaihi iḥsānā, ḥamalat-hu ummuhụ kurhaw wa waḍa’at-hu kurhā, wa ḥamluhụ wa fiṣāluhụ ṡalāṡụna syahrā, ḥattā iżā balaga asyuddahụ wa balaga arba’īna sanatang qāla rabbi auzi’nī an asykura ni’matakallatī an’amta ‘alayya wa ‘alā wālidayya wa an a’mala ṣāliḥan tarḍāhu wa aṣliḥ lī fī żurriyyatī, innī tubtu ilaika wa innī minal-muslimīn
Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh, aku bertobat kepada Engkau, dan sungguh aku termasuk orang muslim.”
ulā`ikallażīna nataqabbalu ‘an-hum aḥsana mā ‘amilụ wa natajāwazu ‘an sayyi`ātihim fī aṣ-ḥābil-jannah, wa’daṣ-ṣidqillażī kānụ yụ’adụn
Mereka itulah orang-orang yang Kami terima amal baiknya yang telah mereka kerjakan, dan (orang-orang) yang Kami maafkan kesalahan-kesalahannya, (mereka akan menjadi) penghuni-penghuni surga. Itu adalah janji benar yang telah dijanjikan kepada mereka.
wallażī qāla liwālidaihi uffil lakumā ata’idāninī an ukhraja wa qad khalatil-qurụnu ming qablī, wa humā yastagīṡānillāha wailaka āmin inna wa’dallāhi ḥaqq, fa yaqụlu mā hāżā illā asāṭīrul-awwalīn
Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya, “Ah.” Apakah kamu berdua memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan (dari kubur), padahal beberapa umat sebelumku telah berlalu? Lalu kedua orang tuanya itu memohon pertolongan kepada Allah (seraya berkata), “Celaka kamu, berimanlah! Sungguh, janji Allah itu benar.” Lalu dia (anak itu) berkata, “Ini hanyalah dongeng orang-orang dahulu.”
ulā`ikallażīna ḥaqqa ‘alaihimul-qaulu fī umaming qad khalat ming qablihim minal-jinni wal-ins, innahum kānụ khāsirīn
Mereka itu orang-orang yang telah pasti terkena ketetapan (azab) bersama umat-umat dahulu sebelum mereka, dari (golongan) jin dan manusia. Mereka adalah orang-orang yang rugi.
wa likullin darajātum mimmā ‘amilụ, wa liyuwaffiyahum a’mālahum wa hum lā yuẓlamụn
Dan setiap orang memperoleh tingkatan sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Allah mencukupkan balasan perbuatan mereka, dan mereka tidak dirugikan.
wa yauma yu’raḍullażīna kafarụ ‘alan-nār, aż-habtum ṭayyibātikum fī ḥayātikumud-dun-yā wastamta’tum bihā, fal-yauma tujzauna ‘ażābal-hụni bimā kuntum tastakbirụna fil-arḍi bigairil-ḥaqqi wa bimā kuntum tafsuqụn
Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (seraya dikatakan kepada mereka), “Kamu telah menghabiskan (rezeki) yang baik untuk kehidupan duniamu, dan kamu telah bersenang-senang (menikmati)nya; maka pada hari ini kamu dibalas dengan azab yang menghinakan, karena kamu sombong di bumi tanpa mengindahkan kebenaran, dan karena kamu berbuat durhaka (tidak taat kepada Allah).”
ważkur akhā ‘ād, iż anżara qaumahụ bil-aḥqāfi wa qad khalatin-nużuru mim baini yadaihi wa min khalfihī allā ta’budū illallāh, innī akhāfu ‘alaikum ‘ażāba yaumin ‘aẓīm
Dan ingatlah (Hud) saudara kaum ‘Ād, yaitu ketika dia mengingatkan kaumnya tentang bukit-bukit pasir, dan sesungguhnya telah berlalu beberapa orang pemberi peringatan sebelumnya dan setelahnya (dengan berkata), “Janganlah kamu menyembah selain Allah, aku sungguh khawatir nanti kamu ditimpa azab pada hari yang besar.”
qālū a ji`tanā lita`fikanā ‘an ālihatinā, fa`tinā bimā ta’idunā ing kunta minaṣ-ṣādiqīn
Mereka menjawab, “Apakah engkau datang kepada kami untuk memalingkan kami dari (menyembah) tuhan-tuhan kami? Maka datangkanlah kepada kami azab yang telah engkau ancamkan kepada kami, jika engkau termasuk orang yang benar.”
qāla innamal-‘ilmu ‘indallāhi wa uballigukum mā ursiltu bihī wa lākinnī arākum qauman taj-halụn
Dia (Hud) berkata, “Sesungguhnya ilmu (tentang itu) hanya pada Allah, dan aku (hanya) menyampaikan kepadamu apa yang diwahyukan kepadaku, tetapi aku melihat kamu adalah kaum yang berlaku bodoh.”
fa lammā ra`auhu ‘āriḍam mustaqbila audiyatihim qālụ hāżā ‘āriḍum mumṭirunā, bal huwa masta’jaltum bih, rīḥun fīhā ‘ażābun alīm
Maka ketika mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, mereka berkata, “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kita.” (Bukan!) Tetapi itulah azab yang kamu minta agar disegerakan datangnya, (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih,
tudammiru kulla syai`im bi`amri rabbihā fa`aṣbaḥụ lā yurā illā masākinuhum, każālika najzil-qaumal-mujrimīn
yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, sehingga mereka (kaum ‘Ād) menjadi tidak tampak lagi (di bumi) kecuali hanya (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.
wa laqad makkannāhum fīmā im makkannākum fīhi wa ja’alnā lahum sam’aw wa abṣāraw wa af`idatan fa mā agnā ‘an-hum sam’uhum wa lā abṣāruhum wa lā af`idatuhum min syai`in iż kānụ yaj-ḥadụna bi`āyātillāhi wa ḥāqa bihim mā kānụ bihī yastahzi`ụn
Dan sungguh, Kami telah meneguhkan kedudukan mereka (dengan kemakmuran dan kekuatan) yang belum pernah Kami berikan kepada kamu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka (selalu) mengingkari ayat-ayat Allah, dan (ancaman) azab yang dahulu mereka perolok-olokkan telah mengepung mereka.
wa laqad ahlaknā mā ḥaulakum minal-qurā wa ṣarrafnal-āyāti la’allahum yarji’ụn
Dan sungguh, telah Kami binasakan negeri-negeri di sekitarmu, dan juga telah Kami jelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami), agar mereka kembali (bertobat).
falau lā naṣarahumullażīnattakhażụ min dụnillāhi qurbānan ālihah, bal ḍallụ ‘an-hum, wa żālika ifkuhum wa mā kānụ yaftarụn
Maka mengapa (berhala-berhala dan tuhan-tuhan) yang mereka sembah selain Allah untuk mendekatkan diri (kepada-Nya) tidak dapat menolong mereka? Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap dari mereka; dan itulah akibat kebohongan mereka dan apa yang dahulu mereka ada-adakan.
wa iż ṣarafnā ilaika nafaram minal-jinni yastami’ụnal-qur`ān, fa lammā ḥaḍarụhu qālū anṣitụ, fa lammā quḍiya wallau ilā qaumihim munżirīn
Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan kepadamu (Muhammad) serombongan jin yang mendengarkan (bacaan) Alquran, maka ketika mereka menghadiri (pembacaan)nya mereka berkata, “Diamlah kamu! (untuk mendengarkannya)” Maka ketika telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.
qālụ yā qaumanā innā sami’nā kitāban unzila mim ba’di mụsā muṣaddiqal limā baina yadaihi yahdī ilal-ḥaqqi wa ilā ṭarīqim mustaqīm
Mereka berkata, “Wahai kaum kami! Sungguh, kami telah mendengarkan Kitab (Alquran) yang diturunkan setelah Musa, membenarkan (kitab-kitab) yang datang sebelumnya, membimbing kepada kebenaran, dan kepada jalan yang lurus.
yā qaumanā ajībụ dā’iyallāhi wa āminụ bihī yagfir lakum min żunụbikum wa yujirkum min ‘ażābin alīm
Wahai kaum kami! Terimalah (seruan) orang (Muhammad) yang menyeru kepada Allah. Dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Dia akan mengampuni dosa-dosamu, dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.
wa mal lā yujib dā’iyallāhi fa laisa bimu’jizin fil-arḍi wa laisa lahụ min dụnihī auliyā`, ulā`ika fī ḍalālim mubīn
Dan barangsiapa tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah (Muhammad) maka dia tidak akan dapat melepaskan diri dari siksaan Allah di bumi, padahal tidak ada pelindung baginya selain Allah. Mereka berada dalam kesesatan yang nyata.”
a wa lam yarau annallāhallażī khalaqas-samāwāti wal-arḍa wa lam ya’ya bikhalqihinna biqādirin ‘alā ay yuḥyiyal-mautā, balā innahụ ‘alā kulli syai`ing qadīr
Dan tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan langit dan bumi, dan Dia tidak merasa payah karena menciptakannya, dan Dia kuasa menghidupkan yang mati? Begitulah, sungguh, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
wa yauma yu’raḍullażīna kafarụ ‘alan-nār, a laisa hāżā bil-ḥaqq, qālụ balā wa rabbinā, qāla fa żụqul-‘ażāba bimā kuntum takfurụn
Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang yang kafir dihadapkan kepada neraka, (mereka akan ditanya), “Bukankah (azab) ini benar?” Mereka menjawab, “Ya benar, demi Tuhan kami.” Allah berfirman, “Maka rasakanlah azab ini, karena dahulu kamu mengingkarinya.”
faṣbir kamā ṣabara ulul-‘azmi minar-rusuli wa lā tasta’jil lahum, ka`annahum yauma yarauna mā yụ’adụna lam yalbaṡū illā sā’atam min nahār, balāg, fa hal yuhlaku illal-qaumul-fāsiqụn
Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati, dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk mereka. Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan, mereka merasa seolah-olah tinggal (di dunia) hanya sesaat saja dari siang hari. Tugasmu hanya menyampaikan. Maka tidak ada yang dibinasakan, kecuali kaum yang fasik (tidak taat kepada Allah).
It is derived from the sentence idh andhara qauma-hu bil Ahqaf-i of verse 21.
It is determined by an historical event that has been mentioned in vv. 29-32. This incident of the visit of the jinn and their going back after listening to the Qur’an had occurred, according to agreed traditions of the Hadith and biographical literature, at the time when the Holy Prophet had halted at Makkah during his return journey from Ta’if to Makkah. And according to all authentic historical traditions he had gone to Ta’if three years before the Hijrah ; therefore it is determined that this Surah was sent down towards the end of the 10th year or in the early part of the 11th year of the Prophethood.
The 10th year of the Prophethood was a year of extreme persecution and distress in the Holy prophet’s life. The Quraish and the other tribes had continued their boycott of the Bani Hashim and the Muslims for three years and the Holy Prophet and the people of his family and Companions lay besieged in Shi’b Abi Talib. The Quraish had blocked up this locality from every side so that no supplies of any kind could reach the besieged people. Only during the Hajj season they were allowed to come out and buy some articles of necessity. But even at that time whenever Abu Lahab noticed any of them approaching the market place or a trading caravan he would call out to the merchants exhorting them to announce forbidding rates of their articles for them, and would pledge that he himself would buy those articles so that they did not suffer any loss. This boycott which continued uninterrupted for three years had broken the back of the Muslims and the Bani Hashim; so much so that at times they
were even forced to eat grass and the leaves of trees.
At last, when the siege was lifted this year, Abu Talib, the Holy Prophet’s uncle, who had been shielding him for ten long years, died, and hardly a month later his wife, Hadrat Khadijah, who had been a source of peace and consolation for him ever since the beginning of the call, also passed away. Because of these tragic incidents, which closely followed each other, the Holy Prophet used to refer to this year as the year of sorrow and grief.
After the death of Hadart Khadijah and Abu Talib the disbelievers of Makkah became even bolder against the Holy Prophet. They started treating him even more harshly. So much so that it became difficult for him to step out of his house. Of these days Ibn Hisham has related the incident that a Quraish scoundrel one day threw dust at him openly in the street.
At last, the Holy Prophet left for Ta’if with the intention that he should invite the Bani Thaqif to Islam, for even if they did not accept Islam, they might at least be persuaded to allow him to work for his mission peacefully. He did not have the facility of any conveyance at that time, and traveled all the way to Ta’if on foot. According to some traditions, he had gone there alone, but according to others, he was accompanied by Zaid bin Harithah. He stayed at Ta’if for a few days, and approached each of the chiefs and nobles of the Bani Thaqif and talked to him about his mission. But not only they refused to listen to him, but plainly gave him the notice that he should leave their city, for they feared that his preaching might “spoil” their younger generation. Thus, he was compelled to leave Ta’if. When he was leaving the city, the chiefs of Thaqif set their slaves and scoundrels behind him, who went on crying at him, abusing him and petting him with stones for a long way
from either side of the road till he became broken down with wounds and his shoes were filled with blood. Wearied and exhausted he took shelter in the shade of the wall of a garden outside Ta’if, and prayed:
“O God, to Thee I complain of my weakness, little resource, and lowliness before men. O Most Merciful, Thou art the Lord of the weak, and Thou art my Lord. To whom wilt Thou confide me? To one afar who will misuse me?Or to an enemy to whom Thou hast given power over me?If Thou art not angry with me I care not. Thy favor is more wide for me. I take refuge in the light of Thy countenance by which the darkness is illumined, and the things of this world and the next are rightly ordered, lest Thy anger descend upon me or Thy wrath light upon me. It is for Thee to be satisfied until Thou art well pleased. There is no power and no might save in Thee.” (Ibn Hisham:A. Guillaume’s Translation, p. 193).
Grieved and heart broken when he returned and reached near Qarn al-Manazil, he felt as though the sky was overcast by clouds. He looked up and saw Gabriel in front of him, who called out:”Allah has heard the way your people have responded. He has, therefore, sent this angel in charge of the mountains. You may command him as you please.” Then the angel of the mountains greeted him and submitted :”If you like I would overturn the mountains from either side upon these people.” The Holy Prophet replied : “No, but I expect that Allah will create from their seed those who will worship none but Allah, the One.” (Bukhari, Dhikr al Mala’ikah ; Muslim: Kitab al-Maghazi ; Nasa’i :Al-Bauth).
After this he went to stay for a few days at Makkah, perplexed as to how he would face the people of Makkah, who, he thought, would be still further emboldened against him after hearing what had happened at Ta’if. It was here that one night when he was reciting the Qur’an in the Prayer, a group of the jinn happened to pass by and listened to the Qur’an, believed in it, and returned to their people to preach Islam. Thus, Allah gave His Prophet the good news that if the men were running away from his invitation, there were many of the jinn, who had become its believers, and they were spreading his message among their own kind.
Such were the conditions when this Surah was sent down. Anyone who keeps this background in view, on the one hand, and studies this Surah, on the other, will have no doubt left in his mind that this is not at all the composition of Muhammad (upon whom be Allah’s peace), but “a Revelation from the All Mighty, All Wise Allah.” For nowhere in this Surah, from the beginning to the end, does one find even a tinge of the human feelings and reactions, which are naturally produced in a man who is passing through such hard conditions. Had it been the word of Muhammad (upon whom be Allah’s peace) whom the occurrence of personal griefs one after the other and the countless and the recent bitter experience at Ta’if had caused extreme anguish and distress, it would have reflected in some degree the state of the mind of the man who was the subject of these afflictions and griefs. Consider the prayer that we have cited above: it contains his own language its every word is saturated with the
feelings that he had at the time. But this Surah which was sent down precisely in the same period and was recited even by him under the same conditions, is absolutely free from every sign or trace of the time.
The subject matter of the Surah is to warn the disbelievers of the errors in which they were involved, and also resisted arrogantly, and were condemning the man who was trying to redeem them. They regarded the world as a useless and purposeless place where they were not answerable to anyone. They thought that invitation to Tauhid was false and stuck to the belief that their own deities were actually the associates of Allah. They were not inclined to believe that the Qur’an was the Word of the Lord of the worlds. They had a strange erroneous concept of apostleship on the basis of which they were proposing strange criteria of judging the Holy Prophet’s claim to it. In their estimation one great proof of Islam’s not being based on the truth was that their elders and important chiefs of the tribes and so called leaders of their nation were not accepting it and only a few young men, and some poor folks and some slaves had affirmed faith in it. They thought that Resurrection
and life after death and the rewards and punishments of the Hereafter were fabrications whose occurrence was absolutely out of the question.
In this Surah each of these misconceptions has been refuted in a brief but rational way, and the disbelievers have been warned that if they would reject the invitation of the Qur’an and the Prophethood of the Prophet Muhammad (upon whom be Allah’s peace) by prejudice and stubbornness instead of trying to understand its truth rationally, they would only be preparing for their own doom.